Wednesday, May 24, 2006

Editorial

Tulisan ini seharusnya ada di majalah FourFourTwo Indonesia edisi perdana. Tapi karena harus melahirkan majalah ini secara cesar [istilah disainer grafis gue karena kerja yang cuma dua minggu untuk majalah ratusan halaman] tulisan ini terlewat. Selamat menikmati

Catatan Pembuka
Mengapa tidak ada kata bosan pada Piala Dunia? Karena Piala Dunia adalah panggung pesta bagi semua elemen dramatik yang pernah ada. Contoh 'kecilnya' coba saya sodorkan. Belanda 1974 adalah favorit semua orang tapi Jerman Barat membungkam sepak bola menyerang paling cerdas dengan determinasi terbaik sepanjang masa. Telepon para istri ke para pemain Belanda malam sebelum final pun dijadikan kambing hitam publik Netherland. Lantas seorang pemuda kurus perokok berat bernama Johan Cruyff pun didaulat sebagai jenius dengan reputasi tampil di satu Piala Dunia saja. Ingat bagaimana Roberto Baggio bersujud ke tanah penuh sesal ketika sepakan penaltinya melambung di atas mistar gawang Brasil saat final USA 94? Menara Pisa seolah makin miring karena duka yang mendalam. Atau 'drama ludah' Rudi Voeller dan Frank Rijkaard di Italy 90? Sebuah skandal yang diyakini merupakan taktik dari sang Kaisar Beckenbaueur. Mungkin juga tendangan David Beckham ke betis Diego Simeone yang membuatnya menjadi 'terhujat nasional' di Inggris. Hingga sebuah gereja harus mengingatkan kalau Tuhan memaafkan semua orang termasuk Beckham. Belum lagi tangis-tangis kemenangan anak-anak tim Samba yang sepanjang sejarah sudah lima mengecup trofi yang paling diinginkan bangsa mana pun di dunia itu. Tarian-tarian khas tanah Afrika yang begitu natif dan eksotis juga kerap membuat mata dunia tercengang. Lantas setiap Inggris melawan Argentina yang selalu membuat kedua negara tegang secara politik, membuat semua orang percaya ini lebih dari sekedar olahraga. Dan masih ada energi penuh ledakan dari Asia yang masih labil tapi kadang sanggup memecahkan perhitungan sejarah sekalipun.

Ah, siapa yang bisa bosan dengan keriuhan drama macam begitu?

Ini adalah sapaan pertama kami dari FourFourTwo Indonesia kepada majenun sepakbola. Semoga bisa membuat Piala Dunia di Jerman kali ini makin dramatis. Viva sepakbola!

Salman Aristo, Managing Editor

nb: maaf Ma, sisi gila ini belum keliatan kemaren-kemaren... sengaja disimpan dulu... :)

Friday, May 19, 2006

Sensor

Ada yang aneh dengan sensor di negara ini.

Oh ya sebelum itu ada informasi pendahuluan. Umma baru saja merilis debut pertamanya kemarin. Film mencekam yang sutradarai Hanung Bramantyo. Judulnya Lentera Merah. Ditulis berdasarkan ide cerita dari Hanung. Premiere pertamanya yang membuat dia gugup and a little bit overdramatic. :)

Nggak objektif mungkin kalo seumpamanya gue komen soal film itu. :) So silakan nonton sendiri dan komen di sini atau di sini. But for me it's a solid craft.

Namun ada kejadian yang bikin kening gue berlipat tujuh. Kebetulan gue disitu main sekilas. Dipaksa Hanung. Gue bikin perjanjian gue mau main kalo dia main. Mainlah gue jadinya.

Disitu ada didialog gue tentang penemuan album Genjer-Genjer-nya Lilis Suryani di kamar mahasiswa. Ceritanya gue muncul dalam flashback di tahun 1965.

Dialognya kurang lebih begini: "...saya juga menemukan album Genjer-genjer-nya Lilis Suryani"

Begitu nonton kemaren, dialog itu hilang. Dipotong dengan sangat paksa hingga jadi sangat mengganggu.

Gue langsung bilang ke Hanung. And you know what? Kata Hanung di sensor LSF. Gue melongo. Sebab di Gie lagu itu muncul jadi latar film dan aman-aman saja. Tau apa ternyata alasannya? Kata LSF Lilis Suryani masih hidup takut menyinggung perasaannya.

Hebat. Sebuah karya dipotong karena alasan sepersonal itu. Lantas nanti apa lagi? Batasan sensor akhirnya makin absurd. Dulu gue dapet info langsung kalo adegan ciuman di Gie dipotong karena salah satu anggota LSF yang kenal dengan Gie dan merasa laki-laki itu tidak mungkin ciuman.

H-E-B-A-T.


nb: i'm proud of honey. really.

Thursday, May 18, 2006

Champions

Tim yang baik belum tentu menang dalam sepakbola.

Kenapa? Karena sepakbola itu seperti hidup. Remains me of life.

This is why I love this game so deeply.

Sedih banget gara-gara Arsenal kalah sama Barca di Final Champions tadi subuh. Gara-gara kiper Jerman sialan itu kena kartu merah dan gol balasan penyeimbang Barca yang dicetak Eto'o berbau offside. Akibatnya mental pemain Arsenal yang tinggal 10 orang itu pun jadi sulit sekali bangkit.

Padahal Arsenal lebih dulu unggul. Dan Ronaldinho sedang berada di jauh dari performa terbaiknya.

Tapi ya, apa mau dikata? That's life. :)


nb: thanks for understanding Ma... mau tidur duluan sendiri... :)

Thursday, May 11, 2006

Stop Press!

Dapet kabar dari penerbit, kalo novel gue [Alexandria] udah cetakan keenam. Berarti selama 6 bulan ini tiap bulan naik cetak, katanya. Laku udah sekitar 15000 kopi. Dan katanya sih masih ada kemungkinan naik lagi angkanya ngeliat animo yang ada. Amin.

Masih dikit mungkin buat penulis yang lain. Tapi buat gue udah Alhamdulillah banget, with capital A.


nb: lumayan Ma, buat tabungan kalo kamu nggak mau buat kursus itu... :)

Me & World Cup

33 hari lagi Piala Dunia.

Hah. Belanda ada di grup maut. Ada Argentina di sana. Terakhir bertemu di Piala Dunia 1998 gol jenius Dennis "Ice Man" Bergkamp membungkam congor Batistuta. Mudah-mudahan Belanda juara dunia. Amin.

Kenapa Belanda sih? Kenapa Piala Dunia?

Sejarah yang panjang. Sekitar medio 1977 gue adalah anak kampung di kawasan kelurahan Ps. Manggis Jak-Sel yang begitu bisa berlari keluar rumah jatuh karena tersandung bola plastik. Lantas tahun 1978 Argentina juara dunia gue dibelikan baju Mario Kempes. Gue kurang suka waktu itu. Nggak tau kenapa. Belakangan gue tau, saat itu Argentina mengalahkan Belanda di final Piala Dunia paling penuh kontroversi.

Sejak itu, gue selalu main bola. Tiap hari. Tiap sore. Sampai menemukan trik baju dibalik agar tidak ketahuan sama Nyokap habis main bola. Beliau kurang suka gue pulang dengan baju berkubang tanah. Jadi gue main dengan baju terbalik lalu saat pulang baju gue pake normal. Baju terlihat bersih minimal sampe direndam di cucian.
Trik ini cukup populer di kalangan teman-teman gue.

Saat pertama main dalam tim, gue belum menemukan jati diri. Tapi karena dilihat kurang gesit dan paling jangkung, gue didaulat jadi kiper. Awalnya gue menyukai posisi ini karena tidak terlalu capek. Tapi begitu lebih dari lima belas kali muka kena hantam bola, gue mulai menghormati posisi ini.

Menantang sekali. Dan belakangan gue mulai jatuh cinta jadi kiper. Secara filosofis gue menemukan fakta, kalo nggak ada kiper apa serunya pertandingan bola? Dimana maknanya taktik dan sebagainya itu? Muaranya ada di gawang. Dan kiper adalah penjaga gawang. Orang dengan nomer punggung 1. Belakangan gue menemukan quote dari Vladimir Nabokov: "The goalkeeper is the lone eagle, the man of mystery, the last defender. Less the keeper of a goal than the keeper of a dream." Very engaging.

Gue benar-benar menekuni posisi ini. And I'm quite good at it. Sampai kelas 6 SD. Serius sampai dalam tahap masuk ke dalam tim amatiran kawasan sekitar rumah. Sempat juara ini-itu yang gue lupa apa aja. Kenapa sampai kelas 6 SD? Karena pas kelas 1 SMP, gue pakai kacamata. Sulit sekali rasanya main bola serius pakai kacamata. Lensa kontak terlalu mahal dan saat itu belum terlalu mudah di dapat. Tidak terlalu kecewa karena gue menemukan gantinya dengan cepat pada saat itu: musik dan ngeband.

Tapi gue masih tetap main bola sesekali. Masih terus mengikuti perkembangan apa pun tentang bola. Menonton setengah pertandingan World Cup 1986 di Mexico. Menyaksikan gol Tangan Tuhan paling legendaris itu. Saat Diego Armando Maradona menunjukkan bahwa memang bisa sepakbola itu ditentukan oleh satu orang. Buat gue bukan Argentina yang juara saat itu tapi Maradona juara dunia 1986 dengan bantuan 10 orang Argentina lainnya. He's too jenius. Beberapa orang menganggapnya Tuhan itu sendiri. Dia satu-satunya orang yang sekarang punya agama. Konon ada sekitar ratusan ribu pemeluk agama Maradona. mereka menyebut dirinya The Diegorian Brothers. Gue pernah mendengar ada orang Argentina yang bilang "Sepakbola Agama kami dan Tuhan pernah bermain jadi kapten di tim nasional kami."

Gue pun langsung rajin mengikuti apa pun tentang sepakbola. Terutama sejarah-sejarahnya. Gue sampe sekarang akan terus mengagumi penyelamatan George Banks dari sundulan Pele, yang disebut sebagai the save of the century. Menghapal betul indahnya Cryuff's Turn saat melawan Swiss di World Cup 1974. Setiap ada tayangan tentang sejarah sepak bola dan piala dunia gue pasti nonton. Dan di sana perlahan terbangung kekaguman terhadap Belanda dan rasa sebal terhadap Jerman.

Lantas the moment of truth muncul Piala Eropa 1988 di German. Saat itu gue dua belas tahun. Di saat itu pula gue jatuh cinta pada Belanda. Dengan segala atribut oranye-nya. Dengan kebangkitan Total Football. Sepak bola terjenius yang pernah ada. Silakan protes. Tapi baca dulu buku Briliant Orange-nya David Winner yang mengupas betapa Total Football itu lahir dari budaya Belanda. Budaya ruang. Segala sesuatu di Belanda itu karena negaranya sempit harus terukur. Mereka terbiasa dengan efisiensi ruang. Total Football berangkat dari sana. Memanfaatkan ruang. Merampas ruang gerak lawan. Begitu lawan 'menyerahkan' ruang mereka, maka Belanda menang.

Luar biasa sekali. Dan di 1988 itu gue menyaksikannya. Betapa Belanda begitu digjaya. Betapa Rijkaard-Gullit-Basten adalah trio yang belum tertandingi. Betapa gol Basten ke gawang Rinad Dasayev [kiper Rusia] adalah gol yang didaulat Franz Beckenbauer sebagai gol 100 tahun sekali.

Luar biasa. Sejak itu, tiap ada perlehatan sepak bola internasional gue akan selalu menjawab juaranya pasti Belanda. Tepatnya gue selalu berharap Belanda menang lagi. Mengembalikan gue ke umur 12 tahun. Ke dalam sebuah keriangan yang polos. Kekaguman dan ketakjuban tertulus yang pernah gue punya. So, when it comes to football, I'm 12 years old boy.

Sejak itu gue selalu percaya darah gue udah berubah jadi oranye. Meski lambang Garuda tetap tidak tergantikan. Tapi gue realistis. 50 tahun lagi juga belum tentu Indonesia masuk Piala Dunia. Jadi raja Asia juga belum kayaknya. Untuk itu gue sabar nunggunya.

Kalau 1988 adalah momen jatuh cinta gue, maka Piala Dunia 1990 adalah tahun dimana gue benar-benar resmi membenci Jerman. Tim buruk yang entah kenapa selalu menang itu. Licik. Terutama ketika mereka menyingkirkan Belanda dengan taktik 'ludah' itu. Mengorbankan Voeller asal Rijkaard juga keluar. Brengsek.

Piala Dunia 1994 di Amerika datang bersamaan dengan gue UMPTN waktu itu. Di suatu pagi, gue nyaris tidak berangkat UMPTN karena Belanda main lawan Arab. Gue sampai harus didorong Nyokap keluar rumah. Persis saat mau keluar, Belanda nyaris kebobolan. Gue balik lagi ke depan TV. Nyokap pun mematikan TV. Belanda menang 2-1. Tapi Brasil Juara Dunia setelah di perempat final menyingkirkan Belanda dengan skor 3-2.

Gue tetap membela Belanda. Karena mereka memang tima luar biasa. Cuma kadang kurang beruntung. Semifinal Piala Eropa 2000 saat kalah adu penalti dengan Italia, koran-koran dunia menulis Belanda 1, Tuhan 3. Karena sepanjang pertandingan Belanda habis-habisan menekan Italia yang seperti dijaga oleh malaikat gawangnya.

Lantas dengan sangat konyolnya tidak lolos Piala Dunia 2002. Padahal saat itu Belanda punya 4 striker tertajam di Eropa. Ironis. Belanda memang punya mental tidak begitu kuat dalam fight. Karena buat mereka yang penting adalah bermain brilian. Rijkaard pernah bilang, "Goal is another thing." Untuk menciptakan gol butuh elemen keberuntungan. Itu yang mereka yakini. Jadilah Belanda tim yang seperti tidak ngotot kalau bertanding. Diganggu dengan negatif football sedikit saja, mereka langsung terlihat malas bermain. Bahkan mereka juga kurang suka pemain yang punya gol banyak. Karena bisanya "cuma bikin gol." Mereka lebih mencintai pemain seperti Johan Cruijff. Serba bisa. Playmaker. Main dengan otak.

Tapi gue akan tetap cinta Belanda. Karena biar tidak pernah menang, Belanda selalu dianggap sebagai duta sepakbola modern yang terbuka dan menyerang. Progresif. Tapi paling mendasar karena Belanda udah merebut kekaguman dan ketakjuban gue. Mereka sudah mencurinya. Sampai kapan pun gue akan cinta Belanda. Saya serdadu oranye.

Kalo boleh ada second team maka mungkin pilihan gue jatuh ke Inggris. Simpel karena liga Inggris sangat gue kagumi. Liga terbaik di dunia. Cepat, keras dan kreatif. Gara-gara kebanyakan nonton EPL gue jatuh cinta sama Newcastle. I'm Toon Army. The Magpies. Setelah itu ada Arsenal di nomer satu setengah. Terutama sejak Arsene Wenger datang membawa anak-anak Belanda dan merubah Highbury selamanya. Dan gue udah megang rumput Highbury.

Kebayang kayak apa senangnya pas gue diminta jadi Managing Editor 442? Sebuah majalah lisensi tentang sepak bola dari Inggris.

Sekedar ilustrasi kenapa gue bisa nulis sepanjang ini dan bisa lebih panjang lagi tentang sepakbola dan kenapa ada yang 50 kali lebih gila lagi dari gue soal bola, bisa mendengar apa yang dibilang Alf Garnett: "Football is working class ballet."

Dan Umma menyambut Piala Dunia dengan pertanyaan: "Hah? Kamu bakal nonton semua pertandingannya?". Hm, sayang, sejak 1990 nyaris tidak ada satu pertandingan piala dunia pun yang terlewat sama saya... :)

Udah dulu ah.

nb: when it comes to you Ma, i'm a learning man. [jadi masih belajar misahin antara nonton bola atau kamu... :D:D]

Monday, May 08, 2006

Hectic

Gila. The hectic month.

Bisa sinting juga. Majalah dua. Skrip TV satu. Belum lagi postpro FKJ yang agak bermasalah. Belum lagi ada satu produksi penuh mimpi dan keyakinan seperti biasa bareng dengan teman-teman baru yang juga the believer. Whoa.

Take a deep breath. Just like Reed says: do what you should and you'll be alright.

Cuma sedih aja waktu sama Umma jadi makin sempit. Dia juga jadi sering nerima gue pulang malam. Terlalu malam kadang.


nb: sabar ya Ma...

Monday, May 01, 2006

PAT

Novelis hebat itu meninggal dunia.

Hm, gue jadi inget sebelum kami berangkat wawancara. "Jangan-jangan ini jadi wawancara terakhir." Ini mungkin maksudnya bercanda. Salah satu rekan yang bicara pasti niatnya bercanda.

Beliau adalah sosok kontroversial. Ditindas habis-habisan. Tapi pernah menindas habis-habisan juga. Politik memang kubangan kotoran bagi seniman. Harusnya jangan main-main ke sana. Sudah menulis saja dengan dasar kemanusiaan. Dasar ini yang belakangan, mau tidak mau, harus diakui muncul di tiap-tiap karyanya. Suka tidak suka dengan kelakuan politiknya, novelnya adalah karya seorang maestro.

Karyanya mengajarkan pada gue kalo novel itu adalah riset. Satu dua novelnya banyak yang nyaris bisa jadi buku pengantar sosiologi. Kalimat sastra juga tidak berarti harus berbunga-bunga ditangannya. Esensi dan ide menjadi raja. Efektifitasnya mengolah kata justru malah membuat rasa merambah kemana-mana. Di kalimat-kalimat dingin bak besi itu justru malah terbuka interpretasi yang longgar tapi mengiris tajam pada batas-batasnya. Maestro.

Selamat jalan laki-laki yang menjadikan hidupnya adalah tantangan sport! Ada sedikit bangga, karena gue bisa jadi bagian sejarah. Menjadi yang terakhir mewawancara secara panjang. Mendengarkan jawaban betapa membakar sampah bisa jadi semacam katarsis bagi tahanan tanpa pengadilan selama belasan tahun.

Sekali lagi, selamat jalan dan terima kasih.


nb: aku sempat di foto sama dia kok, Ma.