Wednesday, December 28, 2005

2005

Ah, ternyata udah setahun nge-blog.

Yap, posting pertama gue itu 22 Desember. Dan tau siapa yang gue maksud calon penulis skenario berbakat yang gue bilang nelepon setelah hari itu gue pulang jadi tamu review di metro TV? Ya, Umma. Ratu ngeles yang bentar lagi bakaln jadi ratu di rumah gue [amiinnn! :D] Dan dia mulai 'menghitung' gue pas baca postingan tahun baru gue yang ada kata alhamdulillah-nya. Ah, life. Full of suprises.

Gila ya. Jalur-jalur postingan ini ternyata memang makin membuktikan kalo semua itu udah ada yang ngatur.

Nggak ada yang nyangka kalo gue bakal punya kesempatan membuktikan diri sedemikian besar [film, novel, dll]. Nggak ada yang nyangka kalo gue bakalan nikah. Gue aja nggak percaya kalo bakalan nikah.

Temen-temen gue juga ada yang punya pencapaian. Salah satunya Eric Sasono yang akhirnya jadi kritikus film peraih citra. Ikutan senang banget. Apalagi merasa jadi bagian dari tulisannya dia, karena gue selalu ikut diajak diskusi sama dia. Dan ada sebagian hasil diskusi itu yang masuk dalam tulisan-tulisannya.

Lantas Hanung Bramantyo jadi sutradara terbaik citra. Gila. Di luar dugaan. Apa pun kata orang, dab, itu sudah terjadi. Dan yang terpilih itu elo. Lo nggak nyogok, lo nggak minta. Berarti lo emang yang terpilih!

Trus, Ndro-ndro nikah. Hebat. Soleh pacaran. Top. Pokoknya tahun ini memang penuh kejutan yang menyenangkan!

Once again, alhamdulillah.

nb: semoga tahun depan, kita mengalami tahun yang penuh berkah ya Ma...

Thursday, December 15, 2005

My Kindergarden

Hm, my old kindergarden.

TK lama gue adalah tempat paling indah selama tiga setengah tahun terakhir. Sejak 2002. Begitu banyak kenangan ternyata. Gobloknya gue baru sadar. Selama 3,5 tahun itu gue berbagi banyak hal bersama teman-teman yang sekarang masih bertahan di sana. Sadar itu baru datang saat ketemu Yarra sama Mira di preview Goal! Ketika kita nggak bisa naik taksi bareng lagi pulang ke kantor. Bareng-bareng lagi menikmati voucher itu lagi.

Sekarang gue harus nelepon Nanda dulu kalo mau nanya tempat makan enak. Dulu tinggal teriak. Pemandu kuliner gue ada di dua kubikel sebelah kiri. Dia juga fashion stylist gue. Lalu kapan lagi gue akan mengalami wawancara radio yang menyenangkan itu? Kapan lagi gue punya kehormatan mengedit tulisan reporter sehandal Yarra Aristi? [yes honey, tulisan kamu bagus ;D]

Gue bakal kehilangan review jujur di pagi hari setelah premiere film gue yang biasa di provide Nanda dan Yalla. Kangen sama marah-marahnya Nanda. Atau 'kebodohan-kebodohan' kecil Yalla yang menyenangkan.

Dan gue udah nggak bisa ngerepotin Mbak Tijah lagi. Minta tolong ini-itu. Sampe akhirnya gue sampe sekarang nggak bisa ngirim fax, karena Mbak Tijah selalu mau gue mintain tolong.

Untung sama Mira gue masih ada kerjaan. Tapi mungkin ketemunya cuma bisa di QB. Sebab gue 'sulit' buat bisa naik tangga lagi ke lantai 3. Olahraga satu-satunya yang rutin gue lakuin.

But life goes on, my dear friends. Gue punya feeling kuat kalo kita bakal main bareng lagi!

Films

Once again film helped my life.

Yap. Movies is always there. Never fail. Pas umur lima tahun gue mengenal kata 'magic' langsung secara visual. Saat gue diajak nonton ke bioskop. Gedean dikit, saat mencari pegangan, nasionalisme gue terhadap bangsa ini dipupuk dengan baik oleh Kereta Terakhir, Enam Djam Di Djogdja, Serangan Fajar, Janur Kuning, Perang Puputan, Jejak-Jejak Walter Monginsidi, Tjoet Njak Dhien, Nagabonar dan banyak lagi film perang. I'm a sucker for a [national] war movies.

Saat seksualitas tumbuh, film is there for me. Mulai dari yang sopan sampe the vivid one :D Tapi kita nggak bicara genre terakhir. Jennifer Connelly adalah yang menset-up standard gue seperti apa perempuan cantik itu seharusnya ketika nonton The Rocketeer. Taste gue sama aktris pun membaik. Nggak asal seksi. Gue fans dia sampe sekarang. Ditambah berbagai komedi romantik yang mengajarkan kalo cinta memang tidak terdefinisikan. That every relationship is strange.

Rainman menaikkan standard tuntutan gue terhadap film. Biasanya dateng ke bioskop baru milih mau nonton apa, sejak terpikat Dustin Hoffmann, gue selalu cari info dulu dan mulai mengikuti film-film kelas Oscar. Selera saya pun lumayan selamat :D Meski setelah Oscar memenangkan Titanic dibanding LA Confidential gue nggak terlalu percaya lagi sama Oscar.

Dan setelah itu Tokyo Story mengingatkan gue lagi untuk lebih respek sama ortu serta menghargai hidup panjang mereka. Di saat begitu habisnya gue disita sibuk. In The Mood for Love mengingatkan betapa selingkuh adalah rinai hujan pilihan yang punya konsekuensi tersendiri, ketika 'kembang api' mulai menyala menggoda lagi. Yiyi bicara sangat dalam apa itu kematian tepat ketika iman ada di level nadir. Banyak lagi deh.

Gue ketemu produser yang sekarang, karena tiap pagi dulu ngomongin film sama dia. Sebelum dia masuk ruangan dan bekerja sebagai GM majalah. Gue ketemu banyak orang penting dan berbakat setelah mulai nulis skenario. Salah satunya Hanung. Ketika sebuah skrip gue sedang mencari sutradara, gue ketemu dia di pemutaran film pendek. Film pendek juga membuat gue punya kesempatan belajar dari Faozan 'Pao' Rizal. Bakat terpendam di perfilman nasional. Underrated cinematographer. Padahal sangat berbakat. Film pendek juga yang bikin gue punya mimpi bareng Angga Sasongko. Potensi yang siap melejit. Diskusi film juga mengakrabkan gue sama Eric Sasono, kritikus film terbaik saat ini. Dan yang paling dahsyat, gue sama Umma mengawali semuanya dari sms-an membahas 2046-nya Wong Kar Wai.

Lalu tadi pagi, saat semangat nyaris habis karena diulur-ulur investor, gue dicambuk Goal! Film tentang pesepakbola. Mungkin tidak objektif kalo gue bilang film ini heroik. Satu, gue footballmaniac. Kedua saya pemuja Newcastle United. Saat melihat di film ini Newcastle begitu diagungkan, airmata menetes. Oke, you are talking with fanatic. Fanatik tidak mungkin realistik :D Tapi film ini jelas punya satu pesan: every dream has a beginning.

Boom! It hit me. Hard. Bahwa semua kondisi keriting sekarang ini adalah awal dari sebuah mimpi yang berontak minta diwujudkan. Dan kalo lo punya keyakinan, akan ada yang menolong. Seperti ketika tadi siang, beres nangis nonton film ini, gue meeting sama pemain yang menjadi kunci apakah FKJ masih bisa jalan apa tidak kalo syuting diundur. Karena pemain ini kunci pemikat investor dan dia mau diajak kerja sama pertemanan. Kalo dia mundur, lumayan menggemboskan amunisi. Problemnya setau gue anak ini harus kembali lagi ke Jerman bulan Februari buat kuliah. Sementara syuting mungkin mundur ke Maret. Dan ternyata, dia mengambil cuti dan stay until december 2006.

Faith. Just have faith, baby! And the reel of life will roll!

nb: ...jadi mau digampar? still remember that line honey? :D

Tuesday, December 13, 2005

Company

Gue resign, gue diminta pergi.

Seperti dalam film Good Company, perusahaan besar memang bisa jadi sangat 'ajaib'. Contohnya perusahaan tempat majalah TK gue bernaung. Majalah yang gue bidani dari sangat awal dan sekarang ditinggal oleh para punggawanya menuju tempat yang menjanjikan hal lebih seru dan menantang. Per 31 Desember, kami selesai menunaikan masa bakti kami.

Gue rasa itu sebuah fase yang baik. Apalagi gue dan teman-teman memiliki niat baik dengan mencari pengganti posisi masing-masing. Cukup cepat kami udah mengajukan calon-calon pegawai baru yang siap dinego permintaan gajinya. Ditambah niat baik untuk masih membantu tim redaksi baru mengerjakan edisi Februari.

Tapi niat baik itu terlindas oleh kekesalan para petinggi yang melihat kami muncul di marketing gathering tempat main yang baru. Saat muncul hari Jumat siang, gue melihat anak-anak sibuk beres-beres. Ternyata hari itu juga, 21 hari lagi dari hari resign, kami diminta keluar dan membawa barang-barang kami. Intinya hari terakhir kami adalah hari Jumat itu. Begitu pesan dari petinggi perusahaan.

Waw. Konon gaji kami pun bakal dipotong. Disesuaikan dengan tanggal hari Jumat itu. Well, gue mencium kerancuan. Status gue sama anak-anak apa nih? Resign apa dipecat? Kalo dipecat berarti dapet pesangon dong. Kalo resign ya harusnya nanti akhir bulan. Saat sore harinya, anak-anak mendapati semua komputer kami sudah diganti password-nya. Bahkan satpam mendapat instruksi untuk tidak membiarkan kami masuk ke gedung lagi. Untuk sekedar berkunjung sekali pun. Sekali lagi, waw.

Ada yang bilang petinggi marah karena kami pindah ke kompetitor. Hm, bukannya ini biasa ya terjadi di dunia bisnis. Saling bajak. etc. Dan mau pindah kemana itu adalah hak gue. Udahlah. Yang jelas kami masuk gedung itu sebagai rockstar [karena banyak tingkah, ngelawan dan selalu berisik], keluar pun masih tetap jadi rockstar!

nb: santai Ma, rejeki nggak kemana....

KUA

Kamis kemaren gue ke KUA bareng Umma. What a day! This is the story.

Hari itu rencananya gue sama calon bini mau ngasihin data yang belum lengkap. Tinggal foto sama data dari cewek gue aja sebenernya. Soal tanggal dan penghulunya udah di booking dan diurus sama Nyokap dari bulan Agustus. Gue pikir urusannya nggak bakal lama.

Sekitar jam 8 pagi, Umma udah nongol di rumah gue, sementara gue masih bareng sama dia di alam mimpi. Akhirnya setelah berhasil memaksa diri mandi, sekitar jam 9 kita berangkat ke KUA Tanah Abang. Di jalan gue baru inget kalo duit di dompet udah tipis. Mau ke ATM tanggung. Lagian gue yakin urusan administrasi udah beres.

Sampe di sana ternyata penghulunya belum dateng. Jam berapa? Nggak jelas. Hm, berarti gue harus nunggu nggak jelas juga dong. Telepon ke HP-nya nggak diangkat. Mungkin lagi ada objekan lain. Sekian menit bengong, muncul seorang ibu yang mengajak gue sama Umma ke lantai atas. Ternyata dia penasihat perkawinan. Oh, jadi sebentar lagi gue bakal ngalamain ceramah nikah yang 'legendaris' itu.

Jadilah gue ikut Ibu Tata [demi harga diri nama disamarkan] ke ruangan dia. Sebelum gue di kasih ceramah ternyata dia harus bersih-bersih ruangannya dulu. Karena ada bekas rokok di lantai dan gelas bekas minuman di meja yang menyebabkan banyak semut. Rupanya Ibu Tata lebih anti terhadap abu rokok dibanding air bekas gelas dan semut. Sebab yang dia bersihin cuma abu rokok doang! Semut dan air menggenang lengket itu dia biarkan begitu saja.

Okelah. Mungkin standard bersih orang beda-beda. Konseling pun siap dimulai. Tapi ada pasangan calon pengantin baru datang. Sebut saja pasangan A. Mereka lantas disuruh masuk di ruangan sebelah kanan. Lalu beberapa saat kemudian ada pasangan yang siap nikah langsung di KUA di ruangan sebelah kiri. Ibu Titi pun bertanya sama gue dan Umma: "Kalian ada pertanyaan pribadi yang mau ditanya sekarang? Soalnya biar enak nanti nasihatnya digabung sama pasangan yang tadi." Gue sama Umma saling pandang. Apa yang mau ditanya ya, kan kita belum nikah. Tapi sudahlah.

Pikiran itu dipotong sama Ibu Titi dengan mengatakan kami lebih baik pindah ke ruang kanan, karena takut menganggu yang nikah di ruang kiri. Belum sempat pindah ada orang mengantarkan sebuah buku besar dari ruang kanan. Seperti buku absen lama. Si Ibu lalu membuka buku itu di depan gue. Selembar limapuluh ribuan terjatuh. Gue tersenyum, hm, tehnik yang lumayan cerdik. Gue tau arahnya kemana tuh. Ibu Tata berdehem. "Ini tulis dulu namanya di buku sama uang administrasi." Gue nyaris menggeleng sambil senyum. Tiga detik kemudian senyum itu hilang. Gue kan nggak punya duit!

Dompet gue bongkar cuma ada 30 ribu. Umma nahan ketawa. Anak ini kalo panik memang malah ketawa. Kebiasaan yang cukup riskan kalo kebetulan berhadapan dengan macan tutul. Sementara itu Ibu Tata mengoceh soal keikhlasan atas uang 'administrasi' itu. Akhirnya dengan mengumpulkan receh, genap lima puluh ribu. Gue selipin di dalam buku tadi. Ibu Tata dengan cepat mengatupkan buku itu. Lantas memandang dengan pandangan iba: "Masih punya ongkos nggak?" Yeah right. :D

Saat kita siap pindah demi kelancaran acara di ruang kiri, tau-tau Ibu Tata bilang: "Kita di sini aja deh." Gue sama Umma kembali saling pandang. Lho, tadi katanya... Ah sudahlah. Pasangan A pun duduk di samping gue. Konseling pun dimulai.

Ibu Tata mengoceh soal nikah dan kesiapan mental. Tanggung jawab suami dan bla-bla. Ada pertanyaan? Pasangan A bertanya soal istri apakah harus melayani terus? Basa-basi. Karena kalo nggak nanya kayaknya Ibu Tata tidak bakal menyudahi kuliahnya. Efeknya dengan semangat dia kembali mengoceh soal kewajiban istri dan suami. Selama sesi ini gue memperhatikan Umma terus. Mahluk ini adalah tukang celetuk jago yang paling gatel yang pernah gue kenal. Apalagi kalo suasananya bikin bosan. Dia bisa dengan sangat tanpa sadar nyeletuk dan membuat situasi makin garing. Saat bibirnya mulai terbuka, gue langsung beraksi: "Diam nggak..." Umma melotot karena manuvernya terjegal dengan sukses.

Tiba-tiba muncul pasangan B. Oh God, apakah kuliah itu harus diulang lagi dari awal?! Ternyata masih ada kemanusiaan. Pasangan B bakal mendapatkan apa yang sudah diucapkan nanti. Nasihat dilanjutkan. Bla-bla-bla yang sangat standard. Meski sudah ditambahi cerita ngidam tetap saja standard. Ibu Tata sendiri terlihat tidak fokus ketika nasihat tiba-tiba menyentuh soal anaknya yang ada di Abu Dhabi dan bagaimana dia menyelamat seorang jemaah haji dari vonis gila.

Tepat di tengah kebosanan akut, gue mendengar suara orang bertanya dari sebelah gue. Suara yang gue kenal. Oh, my... Umma bertanya. Soal apakah boleh dia mengajukan syarat tidak mau dimadu pada saat akad nanti. Good. Gue jadi terlihat seperti laki-laki pendukung poligami yang sudah siap dengan dua calon istri lagi. Ibu Tata menjawab dengan semangat. Sementara pasangan A dan B terlihat panas pantatnya.

Nasihat tiba-tiba kembali ke situasi saat istri hamil sembari selipan pesan jangan memperpendek jarak hamil. Kasihan istri. Perhatian suami pun harus plus-plus, kata Ibu Tata. Di titik ini, gue gagal menjegal Umma. Dia nyeletuk. "Nah mungkin gara-gara plus-plus itu jadi hamilnya sering Bu..." Haha. Tawa formal terdengar. Gue mengusap rambut. Akhirnya setelah situasi makin drowning, Ibu Tata menyudahi nasihat. Gue nyaris mendengar helaan napas yang serempak.

Beres Ibu Tata, gue sama Umma harus menghadap penghulu yang belum nongol dari tadi itu. Begitu turun ternyata dia sudah datang. Begitu bertemu gue langsung siap-siap curiga. Takut ada duitnya lagi. Sementara di dompet tinggal ribuan yang kesepian. Penghulu itu pun melihat berkas-berkas. Meminta foto baru, karena yang kami bawa ukurannya terlalu besar. Lalu dia mengerutkan kening. "Kok yang perempuannya belum bikin pernyataan sendiri kalo belum nikah?" Gue memandang Umma. Penghulu itu terlihat maklum. "Oh baru 20 umurnya. Emang belum perlu bikin." Hmm, kok ini membuat seperti gue mau menikah dengan gadis di bawah umur ya? Penghulu itu menatap Umma. "Masih kecil kok udah berani nikah Neng?" Oh, shut up!

Dia lantas membalik halaman yang udah diurus sama Nyokap. Berikut keterangan kalo urusan administrasi sudah dibayar. Dia tersenyum. Gue juga tersenyum. Nggak bakal ada lagi istilah uang administrasi.

Penghulu itu menutup map. "Nah ini begini ya. Uang administrasi memang sudah dibayar. Tapi nanti ada lagi yang namanya uang apresiasi..." What! "...nah uang apresiasi ini jumlahnya terserah dan tergantung keikhlasan yang memberi..." Damn! Uang apresiasi! Ini jenius! Licin banget! Nggak kebayang kalo bakal ada istilah secerdas ini. Gue nyaris menggaruk kepala.

Penghulu itu menambahkan. "Uang itu nanti aja pas akad. Dan itu juga sebenarnya bukan buat saya. Di sini nanti saya juga harus lapor pimpinan. Biasanya sih jumlahnya memang bebas. Ada yang ngasih 500 ribu. Yang lebih banyak. Yang kurang juga ada..." Penghulu itu pun tersenyum sangat manis.

Oke, can you read between the line? Kalimat di atas itu adalah retorika tingkat tinggi. Artinya: karena harus ada yang disetor ke bos-nya, jangan ngasih di bawah 500 ribu. Hebat, hebat.

Sudahlah. Toh pada saat simulasi gue bacain akad, gue ingat lagi, apa pun deh asal gue nikah sama si ratu ngeles bin nyeletuk itu! Tapi... Ah sudahlah!


nb: udahlah Ma, ikhlas aja. kita kan apresiator yang baik... :D

Monday, December 05, 2005

Erasing Friends

Kemaren gue sama Umma 'menghapus' teman.

Bukan, bukan sedang bermain Eternal Sunshine of The Spotless Mind. Tapi gue sama Umma kemaren nyusun daftar undangan. Di tangan cuma ada jatah 125 undangan. Itu yang dikasih para ortu kita buat berdua. Tadi mikir santai. Masa sih temen kita sebanyak itu?

Well, ternyata banyak. Akhirnya ada beberapa nama yang terpaksa dihapus. Hm, ini proses belajar terhadap apa ya? Belajar kalo suatu saat kita memang harus memilih-milih teman?:D

Nggak tahu lah. Mungkin memang sebuah fase yang harus dilalui aja. Yang jelas rada lumayan nggak enak juga sih jadinya.

Buat mereka yang terhapus, maaf.

nb: eh, Ma, kamu udah yakin tuh sama nama-nama yang dihapus? hehehe... :D

At Last! Buat Hendro

Akhirnya Hendro nikah!

Wuih, rasanya nggak percaya ngeliat Hendro pake baju merah di atas pelaminan! Gue langsung ketawa. Bukan ndro, bukannya ngeledek. Tapi ada rasa takjub luar biasa ndro. Senang campur-campur. Ajaib pokoknya.
Ndro, lo adalah orang yang nemenin gue pada saat gue mendadak suntuk. Partner terbaik maen Winning Eleven. Dan ingat kita main WE bukan saling melawan, tapi memegang tim yang sama. Lalu berkali-kali jadi membawa Indonesia juara dunia berdua. Lo adalah orang mau nemenin gue nulis skenario tanpa tujuan yang jelas. Tulis tangan lagi. Masih ingat lo malam-malam dengan cerutu-cerutu kecil itu? Bareng dengan si Ginting. Tulisan tangan itu masih gue simpen ndro sampe sekarang. Delapan belas scene. Lo adalah orang yang dengan rela mau ikut gue manggung kemana-mana saat masa-masa musikal penuh 'darah' itu. Lo adalah pendengar dan saksi sejarah dari demo-demo itu. Lo juga tempat curhat kreatif pada saat gue mati angin. Cukup nelepon lo sebentar ide gue bisa menggeliat lagi. Buktinya ndro, khayalan kita berdua menghasilkan Catatan Akhir Sekolah. Sebuah milestone tersendiri dalam hidup gue. Dan gue masih nunggu, kerja bareng kita lagi. Marah-marah bareng lagi. Pusing sama deadline lagi. Maki-maki industri lagi.

Lantas kemaren lo menikah. Bener-bener gue lihat menikah. Mahluk yang selalu gue ledek karena bibirnya masih perawan sampe sekitar umur 20-an, jadi penganten. Lebih cepat sebulan ngambil langkah besar itu dibanding gue. Takjub gue. Si hitam berbakat besar [klik aja blognya kalo nggak percaya] tapi kadang malas itu, benar-benar jadi suami orang.

Ah, ndro, ndro! Gue speechless sebenernya. But I'm really happy for you, man! Selamat kawan. Tunggu gue di sudut yang baru itu!

nb: kita susul si ndro-ndro, Ma! :D