The Story Behind
Gue baru keinget omongan seorang kawan tentang keputusan nikah.
Katanya ketika ditanya wahyu apa yang dia dapet saat mutusin nikah: "Kadang lo cuma butuh sepersekian detik saat bangun tidur dan lo mendadak pingin nikah sama seseorang". Gue sih ketawa aja denger jawaban sok cool begitu.
Tapi ternyata gue mengalami itu. Jadi di balik tulisan 'serius' gue sebelum ini, sebenarnya kronologisnya sangat tidak heroik dan mmm, romantis. Ceritanya begini.
Di suatu pagi, gue sama bokap sedang di depan TV. Kita emang punya rencana buat pergi ke rumah tante gue yang lagi mau nikahin anaknya. Nyokap udah nginep di sana duluan. Di tengah kunyahan opak bersaput tipis cabe, tiba-tiba aja gue nanya tentang konsep jodoh.
"Dimana sih batasan jodoh seseorang? Kalo kawin aja bisa cerai? Apa berarti jodoh manusia itu nggak cuma satu? Bisa ganti-ganti?" Satu opak tamat riwayatnya. Gue agak kepedesan.
Bokap gue berpikir dengan tongkrongan meyakinkan. Seperti hendak mengeluarkan sebentuk suara bijak penuh reverb. Macam scene dimana seorang Ayah memberi wejangan penerang hidup pada anak laki-lakinya. Dan jawaban yang keluar.... "Hm, iya juga. Nggak tau juga ya..." Dengan dramatis dia mengambil sebuah opak dan mengunyah. Gue masih nunggu wejangan. Dia mengambil remote dan memindahkan acara berita menjadi sebuah acara dangdut. Wejangan tidak ada dalam menu ternyata pagi ini.
Wah, bapak macam apa ini :) Pertanyaan belasan tahun gue dijawab dengan tidak kompeten oleh orang yang sudah menikah lebih dari 20 tahun. Masa dia nggak tau sih? Gue akhirnya memutuskan mandi setelah menyikat tiga opak lagi.
Di kamar mandi gue masih rada gemes sama jawaban bokap. Tapi tiba-tiba something struck me. Gila, kalo yang udah nikah puluhan tahun aja nggak bisa jawab soal jodoh, berarti ini memang misteri besar yang nggak usah dicari jawabannya. Lantas seperti efek domino kesadaran gue muncul dan jadilah tulisan Jodoh, Nikah and Faith.
Nah, coba perhatikan, diawali dengan obrolan opak dan lantas gue memutuskan buat nikah sama anak orang di kamar mandi. Tadinya gue berpikir momen ini bakal indah, bla-bla-bla. Dan rasanya opak plus kamar mandi nggak masuk dalam kategori indah ya...
Tapi, gue jadi ngerti yang temen gue bilang. Pengambilan keputusan itu memang tidak perlu sakral atau bagaimana. Justru pada saat dia terjadi di tengah your ordinary time, your ordinary life, menelusup dalam situasi yang biasa-biasa saja, bangung tidur, mandi atau sekedar menghabiskan rokok di balkon kantor, itu yang menjadikannya indah.
Ya indah. Karena berarti kesadaran itu sudah menelusup masuk dalam alam pikir lo. Menjadi bagian keseharian lo. Seperti udara yang dihisap. Seperti darah yang mengalir. Seperti kuku yang tumbuh. Menjadi bagian dari diri lo. Bukan sesuatu yang di set up atau direncanakan hingga terasa artificial.
nb: ini cuma pembenaran aja kok Ed atas pengambilan keputusan di kamar mandi... :D
Katanya ketika ditanya wahyu apa yang dia dapet saat mutusin nikah: "Kadang lo cuma butuh sepersekian detik saat bangun tidur dan lo mendadak pingin nikah sama seseorang". Gue sih ketawa aja denger jawaban sok cool begitu.
Tapi ternyata gue mengalami itu. Jadi di balik tulisan 'serius' gue sebelum ini, sebenarnya kronologisnya sangat tidak heroik dan mmm, romantis. Ceritanya begini.
Di suatu pagi, gue sama bokap sedang di depan TV. Kita emang punya rencana buat pergi ke rumah tante gue yang lagi mau nikahin anaknya. Nyokap udah nginep di sana duluan. Di tengah kunyahan opak bersaput tipis cabe, tiba-tiba aja gue nanya tentang konsep jodoh.
"Dimana sih batasan jodoh seseorang? Kalo kawin aja bisa cerai? Apa berarti jodoh manusia itu nggak cuma satu? Bisa ganti-ganti?" Satu opak tamat riwayatnya. Gue agak kepedesan.
Bokap gue berpikir dengan tongkrongan meyakinkan. Seperti hendak mengeluarkan sebentuk suara bijak penuh reverb. Macam scene dimana seorang Ayah memberi wejangan penerang hidup pada anak laki-lakinya. Dan jawaban yang keluar.... "Hm, iya juga. Nggak tau juga ya..." Dengan dramatis dia mengambil sebuah opak dan mengunyah. Gue masih nunggu wejangan. Dia mengambil remote dan memindahkan acara berita menjadi sebuah acara dangdut. Wejangan tidak ada dalam menu ternyata pagi ini.
Wah, bapak macam apa ini :) Pertanyaan belasan tahun gue dijawab dengan tidak kompeten oleh orang yang sudah menikah lebih dari 20 tahun. Masa dia nggak tau sih? Gue akhirnya memutuskan mandi setelah menyikat tiga opak lagi.
Di kamar mandi gue masih rada gemes sama jawaban bokap. Tapi tiba-tiba something struck me. Gila, kalo yang udah nikah puluhan tahun aja nggak bisa jawab soal jodoh, berarti ini memang misteri besar yang nggak usah dicari jawabannya. Lantas seperti efek domino kesadaran gue muncul dan jadilah tulisan Jodoh, Nikah and Faith.
Nah, coba perhatikan, diawali dengan obrolan opak dan lantas gue memutuskan buat nikah sama anak orang di kamar mandi. Tadinya gue berpikir momen ini bakal indah, bla-bla-bla. Dan rasanya opak plus kamar mandi nggak masuk dalam kategori indah ya...
Tapi, gue jadi ngerti yang temen gue bilang. Pengambilan keputusan itu memang tidak perlu sakral atau bagaimana. Justru pada saat dia terjadi di tengah your ordinary time, your ordinary life, menelusup dalam situasi yang biasa-biasa saja, bangung tidur, mandi atau sekedar menghabiskan rokok di balkon kantor, itu yang menjadikannya indah.
Ya indah. Karena berarti kesadaran itu sudah menelusup masuk dalam alam pikir lo. Menjadi bagian keseharian lo. Seperti udara yang dihisap. Seperti darah yang mengalir. Seperti kuku yang tumbuh. Menjadi bagian dari diri lo. Bukan sesuatu yang di set up atau direncanakan hingga terasa artificial.
nb: ini cuma pembenaran aja kok Ed atas pengambilan keputusan di kamar mandi... :D