Wednesday, August 31, 2005

Years, Changing Passes By. Growing.

Ini mungkin topik lama dan agak basi.

Tapi gue baru ngalaminnya lagi kemaren bareng seorang kawan. Seorang vokalis berbakat dari band unik yang sayangnya bubar dan sekarang sedang bermetamorfosa menjadi sutradara.

Ceritanya gue sama dia mau ngegarap layar lebar. Story-nya dari gue. Tapi karena sibuk, treatmentnya ditulis sama ratu ngeles tercinta. Dan bagus. Alurnya smooth and smart. Temen gue itu seneng banget. So, objectively, my future wife is talented. Bukan cuma gue aja yang ngerasa. Pokoknya kalo dikasih tagline kurang lebih begini: Tiga sahabat, masa lalu dan sesosok mayat. Tiga sahabat itu perempuan berumur mid twenty.

Saat ngerjainnya dari awal kita selalu ngomong kalo karakter itu seumuran kita. Tapi pas kemaren ngomongin detil, gue sama temen gue itu ketawa ngakak. "Gila ini sih bukan umuran kita! Kira-kira kan mereka kelahiran 80! Gila tua amat ya kita?"

Yeah. Saat kita masih ada di range dua puluhan, rasanya setiap keping umur dua puluh itu 'seumuran' semua. Hehe. Padahal 25 dengan 29 itu berjarak empat tahun dengan pengalaman yang bisa jadi berbeda. Gue sama temen gue ini melewati masa-masa awal produktif bersamaan. Saat gue baru mulai nulis dan nyebur ke film, dia lagi rilis album.

Gue tau sinting-sintingnya dia. Memperdebatkan apakah rasa mint itu sebenarnya memberikan sensasi dingin atau hangat. Sambil mengunyah potongan royco dengan secolek balsem. Ya, anak arab ini memang sinting dan ajaib. Tapi kerjanya beres dan sangat profesional. Multi bakat. Selain nyanyi dia juga disainer cover kaset yang produktif.

Si sinting itu juga belum lama nikah dan istrinya, seorang aktris, sedang hamil 6 bulan sekarang. Masih tetap sinting. Ajaib. Lompatan idenya masih kreatif. Tapi dengar ocehannya begitu kita kelar membongkar treatment [begitu kelar memberikan masukan kalo mayat itu dimasukan dalam koper tiba-tiba hidungnya nongol dan dihinggapi lalat. gue memenangkan perdebatan dan membuat scene itu jadi lebih beradab dengan mengganti hidung dengan jari telunjuk]. Begini cerocosnya: "Gila Ris, kawin emang nggak bisa sembarangan. Gue aja sekarang mesti mikirin beli kereta bayi. Kain bayi yang harganya sepuluh ribuan tapi belinya bisa dua lusinan kali tiap tiga hari. Buat ngerumputin halaman rumah biar nggak ada nyamuk aja, gue udah abis 3,5 juta. Belum paving block 5 juta. Furniture masih ngantri. Belum lagi bikin sekat biar suara gue kalo lagi kerja nggak ngganggu anak gue entar. Tiap bulan gue minimal mesti ngejar tiga klip atau iklan. Nelponin anak-anak di label nanyain ada job klip nggak. Hahahaha!"

I note the laugh. Dia benar-benar tertawa dengan ikhlas. For the first time, I see a man growing. Seseorang yang gue tau begitu sangat lepas, agak liar ternyata bergerak seiring tahun yang berkejaran menjadi kupu-kupu. Tetap berwarna genit tapi elegan. Still playful but wise. Tidak lantas berubah menjadi pucat dihajar realitas hidupnya sendiri atau keharusan bertanggung jawab.

Hm, I hope I can transform like that for my own life. For my love one. Amin.

Dan ini bahasan basi? Buat gue tidak lagi. Ini masalah kesadaran bahwa tahun yang lewat harusnya membuat kita tumbuh.

nb: grow with me, dear... grow with me... Coz, I wanna grow old with you.

Friday, August 26, 2005

Sparkling Her Eyes: The Making

Dunia Fantasi milik kita berdua.

Itu yang terjadi pas si ratu ngeles gue ulang tahun. Gue membawa dia ke Dunia Fantasi [Dufan]. Don't laugh. Ini memang gue udah rencanain. Dia dan Dufan punya hubungan yang sangat erat. Mereka saling berbagi ulang tahun. Dengan tahun kelahiran yang kurang lebih sama.

Gue niat banget ngajak dia senang-senang. Persis di umur dia ke 20. Gue pingin mengingatkan dia kalo gue masih bisa diajak gila-gilaan. Bahwa kita berdua bakal tetap berani melepaskan 'bocah di dalam' untuk berlarian sesekali. Dan gue juga udah ngasih dia sebuah kado 'serius'. Sebuah buku bagaimana menulis novel yang bagus. Anak ini memang berbakat menulis. Believe me. Just wait for her work. Jadi ceritanya gue mau sok nunjukin, bisa serius dan have fun sekaligus. Tapi ini agak gue sesali sedikit belakangan karena berbahaya bagi persendian. Begini ceritanya.

Begitu sampai gue mengurut dada senang ketika melihat Ontang-Anting tidak beroperasi. FYI, gue kurang begitu suka dengan konsep orang digantung-gantung di udara sambil diputar. Not fun at all. Ya, gue takut. Puas?!

Tapi calon bini gue rupanya dilahirkan dengan syaraf having fun lebih sinting. Dia sangat suka sekali permainan model begitu. Catat: Sangat Suka Sekali.

Setelah sedikit berdebat akhirnya diputuskan untuk masuk teater simulator. Gue belum pernah sempet masuk wahana ini. Jadi nurut aja. Ternyata sebuah simulator dunia ruang angkasa dengan kursi [catat ini] yang berputar-putar. Dengan membaca bismillah perlahan, gue berusaha menikmati perasaan melayang-layang seperti itu. Lumayan fun, meski ada sedikit kliyengan di kepala. Ratu ngeles itu? Gue nyaris melihat dia tertidur karena wahana ini kurang menantang buat dia. Sementara gue sedang berusaha sedikit menjaga langkah biar tidak goyang.

Setelah itu kita ngantri di Perang Bintang. Kata dia ini tembak-tembakkan. Hm, this is my kind of thing. Gue suka permainan yang membidik-bidik. Dan gue juara. Jadi di dalam satu kereta yang berisi sekitar enam orang itu, gue berhasil membunuh 14900 musuh. Angka paling tinggi. Nyaris menembus 15000 tapi ada orang [baca: ratu ngeles itu tentunya] yang selalu mengganggu kekhusyukkan gue menembak karena ngiri.

Setelah itu, dia menyeret gue naik Halilintar. Oh, well. Dengan sedikit memberanikan diri, gue pasang senyum. Tapi senyum itu berubah ketika dia maksa buat duduk paling depan atau paling belakang. Atas nama keselamatan jantung dan usus gue menolak. Akhirnya gue memenangkan perdebatan dengan janji kalo naik Kora-Kora mau duduk di paling belakang.

Duduklah kami di bagian tengah. Begitu kereta meluncur perlahan, doa-doa dengan reflek terucap dalam hati. Lantas terjadilah waktu dimana gue menggenggam kacamata paling kencang dalam hidup sambil memejamkan mata. Persis saat kereta sialan itu meluncur terbalik, gue mendengar teriakan, "Pi, jangan tutup mata dong!" Oh, shut up! Lalu penyiksaan napas itu berhenti. Dan gue masih harus mendengar. "Ah nggak seru nih! Kok cuma sekali sih muternya!"

Kalo waktu itu langsung ada tes model Polisi Amrik ngetes pengemudi alkoholik pasti gue langsung ditangkep. Perut gue langsung mual. "Naik Kora-kora ya!" Oh, good Lord, I'm leashing a monster. Monster itu berhasil gue alihkan untuk main tembak-tembakkan dulu sebentar.

Tapi lantas dia tergoda buat naik kicir-kicir. Sebuah wahana dimana ada empat batang besi besar yang memegang kursi yang nantinya akan naik ke atas dan ber putar. Dan kursi-kursi itu pun akan berputar [kenapa sih orang seneng banget diputar-putar?!] juga dengan porosnya sendiri. Oh, no. Gue pun menolak. Akhirnya dia naik sendiri dan turun dengan kalimat marah-marah. Karena cowok yang duduk di sebelahnya sok menenangkan. "Tampang gue takut apa ya?!" semburnya. Padahal dia menganggap permainan itu masih kurang seru.

Lantas akhirnya kami main bombom car. Sesuatu yang kita berdua suka. Puas main tabrak-tabrakan begitu. Dia dengan sangat bernapsu mengejar buat menghajar mobil gue. Seperti ingin menunjukkan kalo dia sebenarnya bisa nyetir. :D

Habis itu dia masih menagih Kora-kora. Sementara mual jujur saja belum hilang dari perut dan kepala gue. Akhirnya gue ngaku nggak bakal enjoy kalo naik Kora-kora. Nggak kuat. Lalu diputuskanlah naik Bianglala. Niatnya sih pingin romantis. Tapi berhubung mual merajai gue, yang ada gue pegangan erat-erat sama besi palang yang ada di kereta gantung itu.

Tapi gue baru nyadarin satu hal. Ternyata sedari tadi banyak merhatiin gue berdua. Serius. Hari itu Dufan nggak bergitu ramai sama anak-anak. Yang banyak justru malah 20 something yang dateng bareng rombongannya atau pasangan masing-masing. Dan ada beberapa yang merhatiin gue berdua sambil senyum-senyum dan terlihat agak-agak ngiri. Hehe.

Bukan geer, tapi emang begitu. Mereka ketawa-tawa ngeliat si ratu ngeles itu lebih gagah perkasa menghadapi wahana dibandingin gue yang lebih terlihat pucat. Gue jadi ikutan senyum sendiri. Dan gue emang ngeliat pijaran pelangi di mata anak ini.

Beres muter-muter sama kincir besar itu, kita jalan ngelewatin komedi putar yang kosong. Saling pandang sebentar, sambil ketawa kita langsung masuk. Antrian kosong-melompong. Bapak penjaga itu pun tersenyum lucu ngelihat kita. Dan gue berdua benar-benar naik komedi putar berdua.

He, this is kind of romantic. Oke, gue kebanyakan nonton film. Tapi duduk berdua di kereta kencana bersama orang yang kita sayang tetap memberikan desiran tersendiri. Tertawa-tawa menguasai komedi putar. Foto-foto. Seolah nggak peduli sama orang-orang yang mulai ngantri di pinggir. I really enjoy this moment. Gue nggak tau dia ngerasa apa. Tapi gue seperti melihat masa depan. Dimana nanti yang tertawa-tawa seperti ini adalah anak-anak kita berdua. Amin.

Begitu putaran selesai, si Bapak Penjaga sambil tersenyum meminta gue berdua untuk ikut naik sekali lagi. Tapi kita memutuskan untuk keluar. Pulang. Ratu ngeles itu berhasil gue rayu makan burger blenger di Senopati. Sementara sebenarnya gue udah mulai ngerasa linu-linu di setiap persendian.

Lalu kita menutup malam ini dengan memakan burger paling enak sedunia itu tanpa malu-malu. Menjilat tiap tetes bumbu barbekyunya seperti anak-anak yang baru saja diajak jalan-jalan keliling kota.

Satu hal yang nggak bakal gue lupain sepanjang hari itu sampe malam. Seulas senyum, renyahan tawa dan tatapan sepasang mata yang terus berpijaran gembira yang entah kenapa gue ngerasa seperti bahagia.

Ah, kalo saya tidak geer dan memang benar begitu, pegal-pegal yang masih terasa sampe besoknya ini nggak ada artinya. Rasa menyesal gue setip habis. I'll be happy to do it again, again and again. As long as I can make her smiling, laughing and sparkling like that again. Why? Because it's so beautify.

nb: ...but still, no Kora-kora ride, honey... :D

Wednesday, August 24, 2005

Happy Birthday, Dear

Selamat ulang tahun, sayang
Ini adalah angka gerbang
Ujung tahap baru yang akan terus berkembang
Aku ada di sisi menghitung-jaga napasmu dengan doa yang erat-erat kupanjatkan
Buatmu, buat kita menjahit masa depan
Saat bahagia atau tidak bukan lagi pilihan

nb: happy birthday, dear. i just loved you with every meaning of love that we both go to know...

Monday, August 22, 2005

Hidup Itu Sederhana

A film is difficult to explain because it is easy to understand - Christian Metz

Christian Metz adalah seorang pakar semiotik film. Kutipan di atas akan gue ganti kata filmnya dengan life. So life is difficult to explain because it is easy to understand.

Gue bisa berpikir begitu karena baru aja melakukan secuplik napak tilas ke hari-hari gue yang lalu. Waktu gue masih 'hijau' dulu. Ceritanya begini. Take a nice sit. It's gonna be quite long.

Beberapa tahun silam tepatnya sekitar tahun 1988, seorang anak kecil terpana di sebuah studio latihan musik yang sempit ketika menyandang dan membunyikan Fender Jazz Bass. Detik itu juga dia memutuskan kalo benda empat senar itu adalah the coolest thing on earth dan langsung menakik hatinya dengan impian menjadi seorang bassis. That boy is me.

Setelah itu sepanjang hidupnya bocah tadi bergulat di musik. Menumpuk mimpi ingin menjadi musisi. Dia terus ngeband. Terus belajar dan sok tahunya bikin lagu sendiri. Dikenal sebagai motor paling kencang yang terus mendudu meski formasi band-nya bubar terus. Sampai dia kuliah di Bandung tahun 1994. Surga kreatifitas yang membuatnya makin gila.

Apa pun nyaris dia pertaruhkan buat impiannya ini. Nyokap yang rada sulit mengerti, pacar sampai sahabat pun dia taruh di prioritas ke dua. Bisa dibilang gue belajar hidup, kompromi, toleransi daan lainnya dari bergulat mempertahankan sebuah ikatan bernama band.

Dan perjalanan itu bukan tanpa clue yang terus menggoda untuk bocah tadi bertahan. Pernah nyaris masuk ke dalam Indie Ten Sony Music yang legendaris itu. Tergeser karena lagu band bernama Wong ternyata lebih diminati. Lantas dari demo tape yang pernah dibuat, ada yang pernah nangkring selama enam minggu di radio top di Bandung.

Tapi band adalah sebuah ikatan yang tidak mudah. Neraka dunia kalo mendapatkan orang-orang yang tidak memiliki kecepatan yang sama. Gue belajar ini banget. Bahwa tidak ada yang bisa disalahkan, karena semuanya pilihan. Kalo gue punya speed 60 sementara yang lainnya 40 berarti yang nggak pas gue. Gue yang harus pergi. Kita memang yang harus mencari orang-orang yang memang punya speed of work and dream yang sama untuk merasakan kerja [dan hidup] yang enak.

Teruslah bassis tadi mencari orang-orang berkecepatan sama. Setelah pasang surut yang melelahkan [pernah ngalamin ngemodalin demo dari duit hasil magang dan begitu demo jadi band lo bubar?], akhirnya di sekitar tahun 1999, pencarian itu pun sepertinya final.

Gue ketemu sama orang-orang yang udah babak-belur dan capek sama yang namanya teriak-teriak tentang komitmen. Mereka kepingin ketemu orang-orang yang udah sama-sama tau aja sama pilihan itu. Dan kita klop. Kesadaran latihan sering satu-satunya kunci band menjadi hebat disepakati dalam diam. Band ini pun bernama Silentium. Karena semua itu berawal dari diam. Dari sebuah keheningan. This my best formation so far.

Setelah sekitar setahun yang menyenangkan, akhirnya ada produser yang mau membiayai Silentium bikin master rekaman. Wow! Impian gue sejak pertama kali sesak napas menyandang Jazz Bass yang berat itu!

Hidup mulai terasa cerah buat gue. Pada tahun itu juga gue lulus kuliah. Awalnya gue udah positif nggak mau balik ke Jakarta. Gue udah jatuh cinta habis dengan Parahyangan. Gue juga udah kerja menjadi editor di sebuah portal situs dengan gaji lumayan. Kerjanya pun bisa dibagi dengan kegiatan band.
Tapi rupanya Yang Maha Agung punya rencana lain.

Setelah sekitar setahun bekerja dan I'm turning 25, muncul pemikiran kalo gue udah nggak punya waktu buat nunggu master itu diterima sama major label. Jadi meski udah punya master, tetep produser gue mencari label yang mau nerima. Sebenarnya nunggu sekitar setahunan itu masih wajar. Banyak yang nunggu lebih dari itu. But I feel my time is running out. Sementara kerja di dotcom memang seperti mimpi. Belakangan perusahan gue seiring habisnya buih-buih demam dotcom, mulai bangkrut.


Akhirnya setelah mikir, suntuk dan istikharah selama sebulan, gue memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Anak-anak kecewa. Orang yang dikenal paling ngotot dan motor paling kencang seperti 'menyerah'. Pada saat itu gue bilang kalo gue akan terus bermusik. Cuma gue harus realistis [i hate this word back then]. Gue nggak mungkin dikirimin duit lagi sama Bokap biar bisa bertahan di Bandung.

Anak-anak sempet curiga kalo gue dapet kerjaan di Jakarta. Padahal tidak. Jadi gue ke Jakarta juga tanpa ada kepastian apa-apa. Gue cuma ngerasa waktu gue udah habis di Bandung. Dan harus hijrah.

Akhirnya gue ke Jakarta. Tiga bulan nganggur, masuk majalah taman kanak-kanak ini dan sekarang ada di posisi ini. Hidup memang sulit diterangkan karena begitu mudah untuk dipahami.

Meski musik adalah prioritas satu, film adalah bayangannya. Gue selalu terinspirasi dari film. Selama di Bandung gue udah nyoba nulis skenario film. Dan cuma gue simpen di komputer. Buat gue itu hobi yang menyenangkan. Gue cinta banget nulis. Nulis lirik, nulis cerpen, apa pun juga. Tapi musik saat itu tujuan utama.

Begitu gue meninggalkan Bandung, dengan begitu saja gue dapet link untuk masuk ke dunia film. File-file lama gue dengan sangat mudah memikat perhatian orang-orang film. Sesuatu yang dulu gue kerjain tanpa ambisi apa-apa. Dan sekarang dalam waktu tiga tahun gue udah punya lima layar lebar. Nama gue udah ada di katalog film nasional.

Sementara sekian belas tahun gue ngebetot bass, tidak satu single pun yang menasional. Luar biasa.

Lantas beberapa waktu lalu, JC vokalis Silentium yang sudah jadi ayah satu anak dan pegawai pajak itu ngontak gue. Katanya bakal ada Pearl Jam Night 4 September nanti di JKT. Dan Silentium diundang main. Hahaha.

Dengan semangat gue ke Bandung. Ketemu orang-orang yang dulu pernah menyusun mimpi dengan darah bareng gue. Rasanya aneh dan menyenangkan ketemu mereka lagi. Dengan pencapaian masing-masing.

Bentar drummer yang buat gue hebat itu sekarang mengganti stick dengan kuas. Ya, di luar dugaan sama sekali Bentar jadi pelukis. Gara-gara diracunin si Zaenal, gitaris gue yang emang udah dari dulu ngelukis. Ternyata Bentar punya bakat. Dan sekarang lukisan dia diminati.

Zaenal. Manusia ini multi bakat. Gitaris paling jago yang pernah gue ajak kerja sama. Pelukis potensial. Dan sekarang sudah berpenghasilan dua kali lipat gaji gue sebagai Senior Editor. Lukisannya sudah ada di galeri-galeri terkenal. Tinggal nunggu pameran.

Safik. Anak paling kecil di Silentium ini juga gitaris masa depan sebenarnya. Dulu itu dia dikenal malas kuliah. Sekarang dia napsu meneruskan kuliahnya. Musik sudah jadi hobi saja buat dia.

JC. Gue cuma bisa bilang ini vokalis bersuara paling emosional. Pendekatannya nulis lirik juga dahsyat. Kontrol suaranya pun kuat. Sekarang jadi pegawai negeri, punya anak lucu dan sudah punya rumah sendiri.

Lantas saat memutuskan buat latihan lagi dan ngulik lagu-lagu Pearl Jam lagi, terjadi hal lucu. Udah nggak cepet lagi. Ketawa-tawa nyari chord. Akhirnya gue bilang, "Udah ulik di studio aja besok. Kita latihan tiga jam, trus kalo chemistry-nya masih ada, kita manggung tanggal 4!" Semua sepakat.

Dan chemistry itu masih ada. Begitu kena AC studio lagi, mendadak 4 lagu dimainkan dengan sangat cepat dan rapih. Dengan style kami yang selalu mengaransir ulang lagu orang, chemistry itu masih ada.

Dan gue ngeliat sinar mata orang-orang sudah bisa menerima hidup. Tenang saja tanpa harus terlihat ada luka karena mimpi masa lalu yang tidak pernah jadi. Bahkan seperti mengalir saja dengan segala kemungkinan baru yang terjadi nanti. Gue nggak bisa menuliskan lebih detil lagi perasaan gue. Yang jelas gue ngerasa ada di titik yang sangat tenang dan nyaman saat bermusik dengan mereka.
Ya, sudah bisa menerima hidup.

Bisa menerima kenapa gue nggak jadi di musik padahal udah jungkir balik tapi malah dengan gampang jadi di dunia tulis-menulis dan film. Karena dari dulu gue juga udah nulis dan dari kecil doyan film. Simpel aja kan? Dan gue nggak pernah ngerasa tahun-tahun jungkir balik itu adalah sebuah kerugian. Karena gue sekarang adalah penulis-jurnalis dengan pemahaman musik yang sangat kental. Dari angka 0 sampe Z. Anak-anak yang lain juga ngerasa begitu. Menerima hidup memang
diputar oleh pilihan. Yang digerakkan oleh keyakinan menerima diri sendiri.


Jadi, seperti apa sih hidup itu? Kembali saja ke tulisan awal. Hidup itu sederhana karena begitu kompleksnya. Saking sederhananya saya sampai harus bikin tulisan sepanjang ini.

nb: jadi kamu bakal ngeliat aku di panggung nanti, Ed... :)

Whisper of The Neighbour

Terjemahan bebas: Bisik-bisik Tetangga.

Ternyata tetangga itu memang powerful. Gue, mahluk yang bisa dibilang asosial sama penghuni koloni sebelah rumah itu, akhirnya mau tidak mau mengakui kekuatan yang dipunyai mereka.

Cerita tentang Camer gue mendadak jadi agak gugup pas lamaran karena bisikan tetangga mungkin kalian udah pada baca. Dan sepupu gue yang juga mau lamaran mengalami hal yang sama.

Sepupu gue itu kebetulan orang tuanya ada di Payakumbuh, jadi pas sowan sebelum lamaran diwakilin sama Oom gue. Adat minangkabau memang begitu. Dimana mamak atau paman pegang peranan sangat penting. Saat sowan dan berhadapan dengan Bokap ceweknya saja suasana aman. Sampai pas ngomongin kapan mau pestanya. Krusial. Sepupu gue sama ceweknya, as always, mau cepet aja. Bokap ceweknya terlihat setuju-setuju saja. Apalagi mereka udah pacaran tiga tahun lebih. Beres? Tidak.

Entah darimana legitimasinya, seorang tetangga yang kebetulan hadir di situ buka mulut. Dan meminta kalo bisa pas nikah nanti, orang tua sepupu gue datang. Padahal Oom gue sudah menjelaskan, kalo dengan keberedaan dia aja udah cukup sebenarnya. Karena mendatangkan orangtua sepupu gue itu sangat tidak mudah. Biaya, waktu dan sebagainya. Bisa-bisa mereka nikah sesudah gue nanti. Tapi tetangga itu memberikan argumen dengan kisah dulu pernah ada yang model begini tapi ternyata yang menikahkan bukan saudara tapi orang lain.

Oom gue pun melempar bola ke Camer sepupu gue. Bapak itu gelagapan dan akhirnya mengiyakan usulan tetangganya. Sepupu gue pun nginyem. Jadilah dia nikah tahun depan. Karena saat mau puasa begini, biasanya orangtuanya yang punya pabrik penggilingan padi sangat sibuk dan biasanya sedang berurusan dengan bank masalah finasial.

Gue juga nyaris mengalami pindah gedung tempat nikahan gara-gara bisik-bisik yang satu ini. Ceritanya begini. Tetangga si ratu ngeles itu, seorang ibu-ibu dengan sangat baik hati nyaris memberikan nervous breakdown pada Ibunya dengan mengatakan gedung yang sudah disepakati oleh keluarga kami itu kecil dan AC-nya kurang dingin.

Untung Camer gue cukup bijak memutuskan untuk menginspeksi gedung tersebut. Alhasil gue nggak jadi pindah gedung. Karena bisik-bisik itu ternyata berlebihan saat dibuktikan secara langsung.

Tapi bisik-bisik itu nggak selamanya juga menyebalkan. Gue bisa sampe ke titik sekarang juga karena bisik-bisik tetangga yang ngomongin gue sama cewek gue di awal-awal pacaran dulu. Bola terus menggelinding dan gue insya Allah nikah Januari nanti. :D

Ini membuktikan kalo teori kekuatan dan tekanan peer-group hanya berlaku kencang saat remaja salah total. Nggak percaya, silahkan coba-coba buat nikah.

Dan berdasarkan arah journey gue ke depan, kayaknya gue bakal menghadapi lebih banyak lagi bisik-bisik tetangga. Mungkin lebih dahsyat. Doa kan saya selamat.

nb: Nah, mulai sekarang Ed, biasakan tidak mendengarkan omongan dari samping. Jadi nanti pas ada tetangga kita beli BMW seri terbaru kamu nggak belingsatan... :D

Friday, August 19, 2005

Dirgahayu!

Selamat ulang tahun Indonesia!

Enam puluh tahun disemarakkan oleh cerita bayi prematur yang ditolak tujuh rumah sakit. Dirayakan matinya lampu se Jawa-Bali. Pasokan energi yang habis dikorup sendiri.

Selamat ulang tahun! Semoga langkah ke depan tidak makin basi.

Amin.

Monday, August 08, 2005

Janji

Gerak ini masih membarah nanah, terpatah-patah
Kesepian di antara batas langit khianat dan setia
Tapi tak akan kalah aku berdarah mengarah langkah
Mau menunggu sampai bisa kulumat bibirmu dengan berkah?

Agustus 05

Mengerat Rasa

Aku sekental malam
Mana terangmu sayang, biar ku cumbu dengan lekat
Dan bayang kita lembut-menari di layar janji yang sarat

Agustus 05

The Ring

"The one ring to rule them all" - The Lord of The Rings: The Fellowship of The Ring

Dan kemaren gue tuker cincin. Meski tidak sebombastis Frodo dan kawan-kawan di Middle Earth, sekarang di jari manis kiri gue ada cincin yang sama pentingnya buat hidup gue.

Awalnya gue nggak peduli sama segala tunangan atau tanda atau whatever. Apalagi gue agak sepakat dengan kaum post-strukturalis. Ketika yang penting adalah petanda bukan penanda. Kurang lebih begini cincin dianggap penanda dan gue adalah yang ditandai alias petanda. Nah, Roland Barthez bilang kalo petanda itu bakal bergeser-geser terus karena dia plus de sens alias punya banyak arti atau interpretasi. Jadi cincin itu bisa aja gue dan si ratu ngeles itu anggap sebagai aksesoris belaka bukan pengikat janji.

Tapi segala mambo jambo semiotika itu bakal buyar saat Ibu masing-masing dari kalian membaca bismillah sambil menyematkan cincin di jari manis kalian. Hmm. Ada ledakan lembut di hati gue. Serius. Seumur hidup gue belum pernah begini. Gue merinding. Ini baru tuker cincin. Gimana ijab kabul?

Lantas setelah itu acara itu dikuasai kaum perempuan. Nyokap kita, kakak kita, mereka dengan sigap sibuk bicara soal rekanan katering, baju pesta vs baju akad, kapasitas gedung, MC buat pesta dan sebagai. Dan selama itu gue melirik terus ke cincin baru gue. Cincin itu yang seolah memberikan legitimasi mereka untuk langsung dengan akrab mendiskusikan masa depan gue sama calon istri gue. Di titik itu gue sadar kalo pernikahan memang mengikat dua keluarga besar. Another soft-heart explotion.

Walo pun kadang lumayan bikin spaneng dan pusing 'semangat' mereka 'mengatur' nikahan gue [terhitung setiap habis ngomongin nikahan gue pasti 'berantem' :D], cincin itu jadi tidak bisa punya arti lain buat gue [tidak ada arbitrerasi makna, pergeseran interpretasi dan sebagainya]. Kecuali cincin itu adalah pengejawantahan dari betapa seriusnya gue sama anak kecil ini.
Yeah this ring is sure gonna rule me. Because is strickly come from the heart.

nb: Serius Ed. Ternyata gue serius banget sama lo... :D