Friday, June 17, 2005

The Story Behind

Gue baru keinget omongan seorang kawan tentang keputusan nikah.

Katanya ketika ditanya wahyu apa yang dia dapet saat mutusin nikah: "Kadang lo cuma butuh sepersekian detik saat bangun tidur dan lo mendadak pingin nikah sama seseorang". Gue sih ketawa aja denger jawaban sok cool begitu.

Tapi ternyata gue mengalami itu. Jadi di balik tulisan 'serius' gue sebelum ini, sebenarnya kronologisnya sangat tidak heroik dan mmm, romantis. Ceritanya begini.

Di suatu pagi, gue sama bokap sedang di depan TV. Kita emang punya rencana buat pergi ke rumah tante gue yang lagi mau nikahin anaknya. Nyokap udah nginep di sana duluan. Di tengah kunyahan opak bersaput tipis cabe, tiba-tiba aja gue nanya tentang konsep jodoh.

"Dimana sih batasan jodoh seseorang? Kalo kawin aja bisa cerai? Apa berarti jodoh manusia itu nggak cuma satu? Bisa ganti-ganti?" Satu opak tamat riwayatnya. Gue agak kepedesan.

Bokap gue berpikir dengan tongkrongan meyakinkan. Seperti hendak mengeluarkan sebentuk suara bijak penuh reverb. Macam scene dimana seorang Ayah memberi wejangan penerang hidup pada anak laki-lakinya. Dan jawaban yang keluar.... "Hm, iya juga. Nggak tau juga ya..." Dengan dramatis dia mengambil sebuah opak dan mengunyah. Gue masih nunggu wejangan. Dia mengambil remote dan memindahkan acara berita menjadi sebuah acara dangdut. Wejangan tidak ada dalam menu ternyata pagi ini.

Wah, bapak macam apa ini :) Pertanyaan belasan tahun gue dijawab dengan tidak kompeten oleh orang yang sudah menikah lebih dari 20 tahun. Masa dia nggak tau sih? Gue akhirnya memutuskan mandi setelah menyikat tiga opak lagi.

Di kamar mandi gue masih rada gemes sama jawaban bokap. Tapi tiba-tiba something struck me. Gila, kalo yang udah nikah puluhan tahun aja nggak bisa jawab soal jodoh, berarti ini memang misteri besar yang nggak usah dicari jawabannya. Lantas seperti efek domino kesadaran gue muncul dan jadilah tulisan Jodoh, Nikah and Faith.

Nah, coba perhatikan, diawali dengan obrolan opak dan lantas gue memutuskan buat nikah sama anak orang di kamar mandi. Tadinya gue berpikir momen ini bakal indah, bla-bla-bla. Dan rasanya opak plus kamar mandi nggak masuk dalam kategori indah ya...

Tapi, gue jadi ngerti yang temen gue bilang. Pengambilan keputusan itu memang tidak perlu sakral atau bagaimana. Justru pada saat dia terjadi di tengah your ordinary time, your ordinary life, menelusup dalam situasi yang biasa-biasa saja, bangung tidur, mandi atau sekedar menghabiskan rokok di balkon kantor, itu yang menjadikannya indah.

Ya indah. Karena berarti kesadaran itu sudah menelusup masuk dalam alam pikir lo. Menjadi bagian keseharian lo. Seperti udara yang dihisap. Seperti darah yang mengalir. Seperti kuku yang tumbuh. Menjadi bagian dari diri lo. Bukan sesuatu yang di set up atau direncanakan hingga terasa artificial.

nb: ini cuma pembenaran aja kok Ed atas pengambilan keputusan di kamar mandi... :D

Tuesday, June 14, 2005

Jodoh, Nikah and Faith

Gue akhirnya mutusin nikah.

For those who unfortunatelly know me, dont laugh. Well, gue adalah orang yang dikenal dengan postulat kalo nikah itu masuk kotak. Nggak ada lagi ruang pribadi buat diri lo. Banyak hal yang harus dikompromiin sementara lo udah ada di kondisi yang sulit banget dikompromikan. Sebuah kondisi nyaman dimana lo benar-benar 'hidup'. Dimana lo jadi diri lo sendiri. Jadi, gue sempat berpikir, ada orang-orang yang terlalu 'terlambat' buat menikah dan memang lebih baik hidup sendiri. And I'm pretty sure, I'm one of those.

Di samping itu, ada hal lain yang jadi pondasi berpikir gue, kenapa kompromi dengan pasangan adalah hal yang 'ajaib'. Konsep jodoh. Dari sebelum 17 tahun gue udah mikirin ini. Karena tiga konsep rejeki, maut dan jodoh bisa gue terima dengan tanpa pertanyaan kecuali yang terakhir.

Kenapa tukang becak yang jujur nyari 25 ribu aja setengah mati lalu ada anak kemaren sore udah jadi brand manager bergaji 25 juta sebulan, bisa gue terima. Rejekinya udah diatur. Tiap kerja keras beda nilainya. Kenapa ada bayi polos baru tiga bulan bisa meninggal sementara junkies umur 60 tahun belum mati-mati, itu karena maut urusan Allah.

Sementara jodoh? Siapa jodoh kita? Dimana batasannya? Kalo nikah aja bisa cerai, yang mana yang namanya jodoh? Agak sulit gue terjemahkan dan gue jawab. Sampe akhirnya, gue ketemu sama 'anak kecil' yang menyentak gue dengan kesadaran, kalo jodoh sama nikah nggak ada hubungannya.

Ya, jodoh sama nikah nggak ada korelasinya. Kenapa? Sebab jodoh di tangan Allah. Sama kelasnya dengan misteri rejeki dan maut. Kita nggak akan tahu apakah pasangan yang sekarang ada di sisi kita itu jodoh kita sampe kita bener-bener tutup usia. Jadi nikah bukanlah bukti kalo orang itu jodoh kita apa bukan.

Yang bisa kita lakuin adalah mempertanyakan kenapa nikah? Kenapa lo mau nikah, boy? Gue mau nikah karena nikah menyempurnakan setengah agama gue. Karena nikah sumber berkah. Bukan pacaran [or whatsoever] tapi nikah. Dan gue iman sama kalimat-kalimat itu. Kalo situ nggak iman, ya no problem. Pembuktiannya nanti kok, nggak sekarang. Sekarang sih, free will.

Lalu gue memutuskan untuk mengetahui apakah 'anak kecil' ini jodoh gue apa bukan sambil menyempurnakan agama gue dan dapet berkah dengan nikah. Bukan dengan pacaran lama-lama [fyi waktu pacaran emang tidak menentukan apa-apa. Udah banyak contoh. Gue pernah pacaran tiga tahun dulu. Dan sama 'anak kecil' ini empat bulan 'udah' cukup buat gue] Kalo ternyata kita nggak jodoh, at least we doing something that we believe is very beautiful. Gimana nggak indah? Agama lo jadi lebih lengkap dan lo dapet berkah dari Tuhan lo. Kuncinya sekali lagi ada di iman.

Tapi satu hal, pada saat lo nggak percaya nikah, bukan berarti nikah itu lantas nggak ada. Lantas nikah jadi sesuatu yang 'salah'. Persis ketika lo ngebelakangin bulan, bukan berarti bulannya hilang. Lo milih untuk nggak liat bulan. Atau ketika lo milih nggak lewat Sudirman tapi menuju Kuningan. Sudirman tetep ada. Believe it or not, nikah its there. Lying right in front of your journey.

Banyak orang pusing mikirin pacarnya jodoh atau bukan. Atau segepok barrier lainnya. Mulai dari takut cerai, punya anak, mertua, kesiapan ekonomi, belum siap mental, dsb. Gue juga begitu, sampe akhirnya, gue ketawa sendiri. "Sok ribet lo! Mau nikah apa nggak? Toh semua ada konsekuensinya. Your time is ticking away." Sementara anak orang masih dideketin juga. Malu juga jadi 'banci' begitu. Mau lo apa sebenernya? Nikah atau nggak?

Dan akhirnya gue memutuskan untuk nikah. Bukan karena yakin dia jodoh gue, tapi justru pingin ngebuktiin dia jodoh gue apa bukan. With my faith.

nb: jangan jadiin gedung penuh menghalangi kita Ed... :D

After The Break

Sebulan gue break nulis di sini.

Dan selama sebulan ini, faith is ups and down. Down, down there. But sometimes, God have a simple way to shock your consciousness. Gue disetrum lagi pake kata-kata gue sendiri. Sesuatu yang gue tulis 6 tahun lalu. Dan selama tiga tahun terakhir tersimpan dalam HP.

Kalau pelangi adalah senyuman bidadari, akan kumandikan kau dalam gemerlap warna-warni
Melihat yang dulu tak terlihat, mendengar yang dulu tak sempat terdengar
Tentang harapan bintang
Tentang cerita terang
Tentang yang hilang dan tergantikan
Tentang tangis tawa yang silih bergantian

Mungkin dulu ini nggak begitu gue pahami betul. Cuma sesuatu yang keluar from my lonely world. Until I meet someone that can connect to those words. Betul-betul bisa tersambung dengan kalimat-kalimat itu. Yang bisa mengerti apa itu yang hilang dan akan tergantikan. Apa itu yang dulu tak terlihat dan tak terdengar. Mengerti tentang tangis tawa yang akan datang silih bergantian. The answer for the longing voices...

Ya, tulisan itu mengisi-ulang daya detak gue lagi buat mau maju lagi biar jatuh sejauh apa pun juga ke dalam selokan. Coz i already found somenone. Yang mau ngingetin gue bahagia atau tidak itu bukan pilihan. Ketika berdosa atau taat adalah sebuah perjalanan. Dan, katanya, dia mau nemenin gue. For the rest of her life. Insya Allah. Terima kasih. Alhamdulillah.

nb: after 'the break' dear, for the second change, we will stand up again... Won't we?