Friday, December 31, 2004

Parking Lot

Girls are like parking lot. The good one is always taken.

Jangan tanya kenapa gue nulis ini. Sialan...

Wednesday, December 29, 2004

Nasionalisme

Pengumuman, pengumuman! Barang siapa yang mencari nasionalisme, coba mampir ke Senayan, pas tim nasional main!

Kapan kalian terakhir melihat seratus ribu orang nyanyi Indonesia Raya dengan sepenuh-penuh hati dan harap? Kapan terakhir kali melihat bendera merah putih dikibarkan dengan penuh keyakinan? Kapan terakhir ngeliat orang menitikkan air mata sambil megang sang Dwi Warna? Gue baru saja ikut bernyanyi kemaren. Ikut mengangkat banner INDONESIA. Dan ikut menangis. Pas Indonesia Vs Malaysia di semifinal Tiger 2004. First leg dari pertandingan home-away.

[Biar kalah tapi kemaren kita main bagus. Peter Withe udah berhasil ngerubah permainan Indonesia jadi lebih efektif dan rapih. Tenang masih ada pertandingan satu lagi Malaysia]

Mungkin ada yang bilang itu adalah bentuk paling banal. Paling dangkal. Paling kanak-kanak. Tapi siapa bilang nasionalisme itu bukan naluri kanak-kanak? Naluri polos naluriah tanpa pretensi? Jujur lepas dan berani. Hanya segumpal kebanggaan yang tidak pernah bisa jadi duit yang mereka dapat. Harapan yang membuat mereka masih bisa merasa gagah dengan tanah darah mereka sendiri. Dengan diri mereka sendiri. Ya, being nationalist is being proud of your self. Dan itu lebih dari cukup.

Jadi, masih nyari-nyari nasionalisme? Sinis sama nasionalisme? Merasa sudah menjadi manusia Internasional? Skeptik?

Berarti situ belum pernah mampir ke Senayan.

Indonesia Menangis

Sekitar 27.000 jadi mayat dikebat Tsunami dan gempa di dataran Aceh dan Sumatra Utara.

Mungkin Yang Maha Ombak merasa sebagian rakyat Aceh sudah terlalu lama dan akan terus menderita. Jadi diselesaikanlah urusan mereka di dunia ini. Agar mereka tidak terus menangis. Membuat Indonesia terus-menerus berdarah dan... menangis.

Innalillahiwainnailaihirojiun....

Saturday, December 25, 2004

Kembali Ke Titik Nol

Longweekend. Janjinya membabat deadline kantor. Biar bisa mulai konsentrasi nulis Jomblo dengan nyaman. Tapi prosesinya selalu begini. Setiap mau nulis skenario baru, pasti sindrom ini nongol persis jerawat. Menggangu. Sindrom kalo gue sebenarnya nggak bisa nulis skenario. Weits, pasti banyak yang mencibir bilang gue sombong atau belagak.

Tapi jujur, biar udah lima skenario gue [plus satu skenario kolaboratif] dibeli, setiap mulai menulis, bangsat satu ini muncul terus. Inspirasi gue selalu ketar-ketir. Gemetar. Lantas entah-datang-darimana-energi, tiba-tiba draft 1 selesai. Wiuh, sensasi tiap draft satu kelar itu luar biasa. Seperti kelar nonton In the Mood for Love, Yiyi, Before Sunrise, bersin, dan melihat gol-gol cantik.

Hei, mungkin justru itu yang membuat gue nyaris nggak jenuh nulis ya? Hm, ya. Kembali ke titik awal. Seperti jurus satu pukulan Upasara Wulung. Menyerap semua pukulan lawan agar tubuh kembali ke titik energi. Lalu memukul balik dengan dahsyat.

Jadi [sekalian pembenaran] saya mau gelisah dulu. Menikmati segala ketakutan dan sindrom itu. Kembali dulu ke titik kosong.

Titik nol.

Thursday, December 23, 2004

Capek

Hari ini memang digariskan buat gue marah-marah kayaknya. Setelah berhasil menenangkan diri tidak melakukan tindakan-tindakan yang direstui Letkol Untung di G30S/PKI, gue mendiamkan kasus absen itu. Buang energi, capek sendiri protes sama institusi segede mereka. Biar salah mereka punya sistem yang solid. Sistem yang sama dengan peternakan sapi: perah sampai kering!

Keluar kantor dong ceritanya pas jam 6. Sesuai absen janjian sama Hanung di Ambasador. Ada berita penting soal dunia broadcast dan persinetronan. Meluncurlah hamba dengan FI ke sana. Satu-satunya jalur yang baru bisa dihapal mahluk yang baru 8 minggu bisa nyetir ini adalah Kuningan. Dan selamat datang di neraka bumi sodara-sodara! Tenang, tenang. Nggak lucu lempar tombak cuma gara-gara Jakarta macet. Percuma. Sayang tombaknya. Cuma bikin capek aja.

Tigapuluh menit kemudian, setelah nyaris mencolek motor 3 kali plus adu klakson sama Kopaja [tombak hampir ikut campur tapi nggak jadi] akhirnya parkir di ITC. Lantai 1, penuh. Senyum. Lantai 2, krodit. Masih senyum. Lantai 3, nggak ada. Senyum mulai tipis. Dengkul kiri agak bergetar sedikit. Begitu lantai 4 nggak ada juga secuprit space buat gue lepas dari capek hati dan kaki, muka jadi kenceng juga. Lantai 5, setelah muter 4 kali akhirnya ada yang keluar. Mau ngamuk-ngamuk percuma juga. Capek.

Jakarta sucks! Macet, parkir itu bisa diurus! Tinggal mau nggak ngurusinnya. Bogotta sama parahnya dengan di sini. Lima tahun lalu. Dalam waktu lima tahun [satu masa jabatan] macet selesai sama gubernurnya. Urut-urutan progamnya jelas. Mulai dari perbaikan bis dan kendaraan umum, sampai melimitasi penggunaan kendaraan pribadi. TAPI, urutannya jelas. Perbaiki dulu kendaraan umum, baru paksa orang meninggalkan kendaraan pribadinya! Ah, udahlah capek. Toh usulan paling mantap untuk membatasi umur kendaraan layak jalan ditolak. Karena itu bisa mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak kendaraan.

Oke, tinggalin dulu maki-maki sambil nyebar garam di laut itu. Hanung menambah bumbu yang bikin darah mendidih. Ternyata, sebuah stasiun Televisi besar di Indonesia, berhutang puluhan milyar sama beberapa PH besar [lo tau siapa yang gue maksud]. Hutang yang berasal dari tunggakan bayaran episode sebuah sinetron. Akibatnya, apa pun yang para taikun sinetron itu sodorkan diterima! Dengan kualitas apa pun juga! Ini berlangsung tahunan. Dan membentuk sebuah pemahaman akan 'maunya pasar' yang sangat-sangat payah dan sakit. Stasiun tenang saja. Tidak peduli dengan apresiasi rakyat yang membusuk. Mereka cuma pedagang yang maunya untung terus.

Hm, apa gue ikut aja sama sikap Riri Riza yang protes: Ini bukti perfilman dikalahkan oleh pembodohan televisi, saat FFI 2004. Ketika banyak kategori penting yang tidak disiarkan langsung. Orang yang menghadiahi ulang tahun sahabatnya Mira Lesmana yang ke 39 dengan tulisan: remember, TV is dead.

Aplikasikan itu menjadi: Work value is dead. Jakarta is dead. Dan gue juga ikut 'mati'. Bersama zombie-zombie modern lainnya. Berdansa dengan senyum plastik di kebekuan. Di dunia dagang yang meriah ini.



Capek soalnya. Capek...

Absen

Ada apa sih dengan absen?! Kalo gue itu PNS mungkin kehadiran pas buat jadi alasan penyunatan gaji begitu gue terlihat jarang hadir. Tapi kan gue jurnalis! Mana mungkin bisa 9-6? Liputan-liputan sialan itu gimana coba?! Apa mereka peduli kalo gue liputan sampe malem?! Dibayar lemburnya?! NGGAK KAN!

Sori marah-marah nih.

Buat gue di kondisi jaman kayak begini, tiap 'kuli' punya treatment-nya sendiri-sendiri. Lha, wong, kata Mas Garin ruang cerita aja makin personal, makin khusus dan khas. Masa dunia kerja nggak?! Profesi kan makin detil!

Sori gue marah.

Tapi siapa yang nggak, begitu tau gaji dikebiri gara-gara dituduh jarang masuk?! Cuma berdasarkan absen sidik jari sialan itu doang?! KEHED!

Sori, kali ini gue nggak ngerasa salah marah-marah.

Wednesday, December 22, 2004

Cuap-cuap, kritik and the responsibility

Nggak lama habis acara di Metro itu, ada message di Friendster. Dari junior dulu di kampus. Dia bilang kaget ngeliat gue jadi gendut [bla, bla... :)], dan dia bilang jadi pingin nonton Ocean's Twelve. Padahal tadinya dia nggak begitu suka film bergenre heist seperti itu. Hm...

Terus seorang 'calon penulis skenario' berbakat telepon soal storyline dan bilang kalo penasaran pingin nonton film itu setelah nonton gue ngoceh. Hm...

Blessing in disguise, kata Pemred Ramadhan di film Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Jadi cuap-cuap gue itu ternyata memang sanggup bikin orang mau nonton film.

Terus bagaimana dengan sepertiga halaman kritik yang ditulis dengan sangat payah, beragendakan sinisme belaka, di sebuah koran berskala nasional? Ah, itu urusan mereka. Yang pasti gue makin nggak boleh sembarangan nulis review tiap bulan meski itu nggak lebih dari 1000 karakter. Atau diundang ke Metro lagi, atau Radio 68H lagi.


Harus! Sebab ternyata ada yang butuh. Dan yang paling berbahaya: ada yang percaya.

Pertama

Hm, nggak ada yang menarik hari ini. Kecuali melihat tampang sendiri di Metro TV. Ngoceh soal Ocean's Twelve. Lima menit mereview film cukup bikin otak belajar efisien. Olahraga yang lebih dari lumayan. Tapi apa bener review yang cuma secuprit begitu bisa mempengaruhi orang ya? Kalo nggak ngaruh, lalu apa alasan rubrik macam begitu lahir? Ah udahlah. Toh taping-nya seru dan cepat. Dapet honor jelas. Tapi kurang dari dua jam itu duit raib. Knalpot si FI [Mazda VT 93] tersayang gue copot dengan meyakinkan. Akhirnya sisanya tinggal 50 ribu. Lumayan buat jus jeruk plus french fries QB.